PRESIDEN DAN KAMUFLASE GURITA

Selasa, 12 Oktober 2010

Oleh:
FERI AMSARI
Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako)
Fakultas Hukum Universitas Andalas

Ibarat gurita, kejahatan korupsi memiliki banyak tentakel. Menggapai kemana-mana, menyentuh tiap sisi penegakkan hukum.  

Bisa jadi George Junus Aditjondro sudah melakukan kajian falsafati ketika mengibaratkan jejaring korupsi “istana” dengan istilah gurita (2009). Secara ilmiah, gurita adalah hewan paling cerdas dikalangan invertebrata (tak bertulang belakang) yang mampu melakukan kamuflase luar biasa. Mirip dengan para koruptor yang mampu melakukan muslihat untuk menipu aparat penegakkan hukum dan publik.

Kamuflase gurita-gurita korupsi telah menguasai istana dewi keadilan. Istana itu terancam runtuh tak bersisa, membuyarkan harapan negara kesejahteraan (welfare state) yang sudah diimpikan sejak jaman koloni Belanda. Harus ada upaya perlawanan untuk mencegah semakin meluasnya tipu daya para gurita korupsi! Sejauhmanakah peran Presiden dalam menghentikan tipu daya para gurita tersebut?

KAMUFLASE

Kamuflase menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perubahan bentuk, rupa, sikap, warna, dan sebagainya menjadi lain agar tidak dikenali. Berdasarkan makna tersebut, maka kamuflase yang dilakukan oleh para koruptor dan mafia hukum dapat dimaknai sebagai sebuah upaya untuk menghilangkan jejak perkara.  

Melihat berita akhir-akhir ini, dugaan kamuflase oleh para koruptor tak bisa dipungkiri lagi. Satu demi satu mega skandal korupsi dan hukum berangsur lenyap, menuju gudang perkara-perkara terlupakan. Beberapa fakta mengenai itu dapat dilihat dari mata rantai kasus-kasus berikut ini.
Perkara suap terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan yang melibatkan Artelita Suryani dan beberapa Jaksa Agung Muda sudah tak terdengar nasibnya. Suap terhadap Jaksa Urip itu menyebabkan tersamarnya kasus utama yaitu penyimpangan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan banyak konglomerat papan atas Indonesia.

Kasus BLBI semakin lenyap ketika dicuatkannya perkara kriminalisasi Bibit-Chandra. Terungkap dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi peran seorang Anggodo dan beberapa aparatur hukum memanipulasi perkara tersebut. Tak lama kemudian, kasus kriminalisasi yang menyeret banyak nama pejabat penting itu pun lenyap tertiup isu lainnya. Publik lupa akan Anggodo. Sempurna tergantikan dengan mencuatnya mega skandal Century.

Perkara Century “meledak” karena memunculkan diskursus panjang mengenai dampak sistemik akan stabilitas perekonomian dan mekanisme proses pemakzulan (Wakil) Presiden. Namun dengan manis, perkara itu tertutupi pula dengan kesaksian monumental seorang Susno Duadji. Berlahan tapi pasti kesaksian sang jenderal itu telah menyapu skandal Century masuk gudang perkara terlupakan.

Taktik whistle blower korupsi perpajakan oleh Susno itu membatalkan agenda politik di DPR terkait Century. Publik terhanyut dengan berita kekayaan tak masuk akal pegawai sekelas Gayus Tambunan. Gayus pun ikut menyeret banyak pihak penting ke dalam lingkaran polemik. Seketika kasus ini menjadi panas, satu per satu “kambing hitam” pengalih isu bermunculan. DPR pun ikut-ikutan lupa akan Century.

Saat ini, tiba-tiba muncul berita penangkapan Susno. Rupanya jilid baru drama Susno untuk melupakan Century kian handal “ditayangkan”. Drama tersebut jadi awan gelap yang semakin menutupi perkara yang sesungguhnya lebih patut didahulukan penyelesaiannya.
Publik hari ini berpaling, menikmati cerita penangkapan Susno yang tidak logis. Kenapa Susno baru ditangkap setelah “bicara” banyak fakta yang melecehkan institusi Polri? Padahal Polri dapat saja menangkap Susno dari awal, misalnya ketika Susno terbukti terlibat merekayasa kasus Bibit dan Chandra.

Seluruh perkara tersebut bak puzzle, memiliki keterkaitan satu dan lainnya. Jika dirangkai satu persatu dengan baik, maka gambaran sempurna manipulasi isu tak bisa dihindari. Seperti gurita yang melakukan kamuflase, maka perkara yang bermunculan silih berganti hanyalah topeng untuk menutupi perkara lainnya yang lebih dahsyat.

Jika kamuflase pelbagai perkara korupsi ini terus dimuntahkan, pemerintah telah membuka jalan besar terhadap ketidakpercayaan publik kepada negara. Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan tak ayal lagi akan menjadi korban utama yang dipersalahkan publik dalam hal ini.

PERAN PRESIDEN

Sistem presidensial secara teori meletakan seorang Presiden sabagai pilar utama roda pemerintahan dan negara. Porsi itu memperlihatkan peran besar Presiden baik dalam penegakkan hukum maupun membenahi karut marut politik.

Sebaliknya, apabila penegakkan hukum dan politik jauh dari harapan, maka Presiden adalah sosok utama yang patut dipersalahkan. Itu sebabnya Presiden menjadi figur sentral yang dapat menghentikan kekacauan akibat mengguritanya kamuflase korupsi. Harus ada upaya para “aktivis” istana mendorong Presiden menata keterpurukan pemerintahan hari ini. Kebusukan di tubuh Polri, Departemen Keuangan (terutama Dirjen Pajak), Kejaksaan, dan Peradilan harus segera dihentikan.

Membiarkan kebusukan itu menggurita, sama saja menghantarkan negara ketitik nadir paling berbahaya. Untuk itu Presiden tidak boleh hanya sekedar berpidato. Meminjam istilah Jusuf Kalla, maka lebih cepat lebih baik.

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 

Mentawai Relief

Pusat Informasi Palestina

BBCIndonesia.com