“FITRAH” KONSTITUSIONAL MK?

Selasa, 12 Oktober 2010

Oleh:

Feri Amsari

Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)

Fakultas Hukum Universitas Andalas


“Membaca” Mahkamah Konstitusi (MK) seperti membaca peta yang rumit. Tujuh tahun usia pengawal konstitusi, pada 13 Agustus tahun ini, membuat MK menjadi salah satu lembaga negara yang menarik dianalisis.

Pelbagai putusan MK tidak hanya mendapat pujian tetapi juga kritikan tajam. Banyak pembenahan yang harus dilakukan oleh institusi satu-satunya penafsir konstitusi ini (the sole interpreter of constitution) ke depan. Hal itu wajib dilakukan untuk melindungi “fitrah” konstitusional MK yang diamanahkan oleh UUD 1945.

Kontroversi

Jamak dipahami bahwa MK memiliki 5 (lima) kewenangan konstitusional. Pasal 24C UUD 1945 junctis Pasal 10 UU MK “menugaskan” MK menyidangkan: (1) perselisihan hasil Pemilu (PHPU), (2) pengujian konstitusional undang-undang (PUU), (3) sengketa kewenangan lembaga Negara (SKLN), (4) pembubaran partai politik (PPP), dan (5) wajib menyidangkan dugaan DPR bahwa telah terjadi pelanggaran konstitusional oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden (impeachment). 

MK bertaburan pujian ketika menjalankan fungsinya. Putusan terkait dilegalkannya calon independen dalam pemilihan umum kepala daerah dianggap banyak pihak menjadi “jalan” pembenahan demokrasi tingkat lokal. Anehnya, putusan nomor…..tersebut berbeda dengan putusan nomor……. terkait calon independen  dalam Pemilu Presiden. Padahal substansi hak konstitusional yang ditegakkan sama, yaitu hak individual untuk memajukan dirinya dalam Pemilu. Dua tafsir hak konstitusional yang berbeda oleh MK tersebut menimbulkan dugaan bahwa putusan MK cenderung menyesuaikan dengan kepentingan politik dibandingkan kepentingan konstitusional.

Dualisme dalam memaknai nilai-nilai konstitusional membuat MK seringkali dicurigai memiliki kepentingan. Apalagi MK seringkali “nakal” mencari kesempatan mengadili perkara yang terkait dengan “dirinya sendiri”. Putusan nomor 005/PUU-IV/2006 menyebabkan MK tidak termasuk lembaga peradilan yang diawasi oleh Komisi Yudisial. Akibatnya, apabila terdapat dugaan penyimpangan oleh hakim konstitusi, maka mustahil untuk ditelusuri. Bukankah hakim MK juga manusia yang cenderung khilaf dan mesti diawasi?

Selain itu, salah satu putusan MK yang juga menjadi perdebatan namun diacungkan “jempol” adalah terkait dengan metode pemilihan legislatif di Yahukimo, Papua. Putusan ….. tersebut memberikan ruang kepada masyarakat adat di Yahukimo untuk menerapkan proses adat, dengan menggunakan tas noken, dalam memilih anggota legislatif. Namun MK melakukan hal yang jauh berseberangan ketika mengadili perkara PHPU di Kota Waringin Barat, Kalimantan…… Dalam perkara nomor…..tersebut MK malah mengabaikan suara rakyat dengan menetapkan kepala daerah terpilih. Putusan tersebut seolah-olah MK anti konsep demokrasi (rakyat tertinggi) dan mengedepankan konsep juristokrasi (hakim tertinggi). Bahkan juga menjadi boomerang bagi MK ketika KPUD Kota Waringin Barat enggan melaksanakan putusan tersebut. Pasca pengabaian tersebut, banyak pihak yang mulai “berniat buruk” untuk mengabaikan putusan lembaga penjaga nilai-nilai konstitusional tersebut (the guardian of constitution).

Kekuatan putusan MK menjadi salah satu poin yang terus dibicarakan oleh pelbagai pihak. Bagaimana kekuatan putusan MK? Apakah memiliki daya ikat yang harus dilaksanakan oleh pihak-pihak atau hanya perlu kesadaran moral untuk menerapkannya?   
     
Kekuatan Putusan MK

Lepas dari kekhilafan putusan MK. Harus dirunut kembali bahwa MK menjadi lembaga negara terdepan dalam membangun demokrasi, pemberantasan korupsi, dan upaya penyelamatan hak-hak konstitusional rakyat. Banyak visi kerakyatan yang ditegakkan MK untuk dapat dipenuhi oleh para penyelenggara negara. Dan harus diakui, banyak putusan MK diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa.

Sayang, putusan-putusan MK tersebut secara konstitusional memiliki daya ikat yang “bimbang”. Ketentuan Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 UU MK tidak menyebutkan putusan MK berlaku mengikat. Eksplisit disebutkan bahwa putusan MK hanya bersifat “final”. Artinya, putusan MK menutup terdapatnya upaya lain. Namun tidak dapat dimaknai serta merta (mutatis mutandis) memiliki daya eksekusi. Oleh karenanya, menjadi wajar, jika dikemudian hari banyak pihak-pihak yang bersengketa mengabaikan putusan MK dikarenakan merugikan kepentingan pihak tertentu. MK saat ini hanya berharap secara moral agar pihak-pihak mendewasakan diri untuk menerima dan melaksanakan putusan MK.

Ada harapan daya ikat putusan MK dibenahi melalui revisi undang-undang di DPR. Namun sulitnya DPR sendiri merupakan lembaga yang sering kali mempertanyakan putusan MK. Sehingga revisi UU MK perlu diawasi dengan maksimal, sebab semakin baik tatanan MK ke depan maka ada harapan besar pelaksanaan hak-hak konstitusional warga negara dan  penyelenggaraan sistem ketatanegaraan akan lebih baik di masa depan.

Masa depan MK

Terdapat 3 (tiga) poin penting lainnya yang diperlukan untuk pembenahan MK di masa depan. Pertama, dalam revisi UU MK perlu dicantumkan ketentuan pengawasan hakim konstitusi secara eksternal (baca: oleh KY). Hal itu penting untuk menjaga agar kekhilafan manusia (baca: hakim konstitusi) tidak mudah terjadi.

Kedua, poin penting lain adalah perlindungan kewibawaan hakim. Seringkali hakim konstitusi lepas kendali ikut serta membicarakan hal-hal yang merusak kewibawaannya. Untuk itu, ide mengaktifkan “juru bicara” MK menjadi penting dalam hal melindungi citra hakim konstitusi. Konsep yang baik dalam penerapan juru bicara telah diperlihatkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). MK perlu menjauhkan hakim-hakim konstitusi dari sorotan publik, apalagi terkait dengan perdebatan perkara.

Poin ketiga yang perlu juga menjadi perhatian dalam revisi UU MK adalah proses pemilihan hakim. Sejauh ini, hanya proses di DPR yang dapat diakses oleh masyarakat. Pemilihan hakim konstitusi di Mahkamah Agung (MA) dan Presiden seringkali menjadi misteri tersendiri. Oleh karenanya, UU MK yang baru mestinya mengatur pula mengenai proses pemilihan hakim konstitusi di tiga institusi (Presiden, DPR, dan MA) secara tegas, jelas, dan transparan.

Semoga pembenahan MK untuk menjadi lebih baik wujud melalui revisi UU MK. Harus diakui bahwa sejauh ini MK adalah lembaga negara yang membanggakan. Akan tetapi pembenahan sistem penting. MK tidak dapat selamanya hanya bergantung kepada figur-figur hakim konstitusi dan sekretaris jenderal yang mumpuni an-sich. Harapannya, 7 (tujuh) tahun usia MK dapat menjadi lonjatan besar dalam memperbaiki diri menuju fitrah konstitusionalnya, yaitu sebagai pelindung UUD 1945. Selamat ulang tahun MK! 

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 

Mentawai Relief

Pusat Informasi Palestina

BBCIndonesia.com