Mencari Solusi ‘Krisis’ Berbahasa Indonesia

Selasa, 12 Oktober 2010

Oleh:Eko Kurniawan
Pimpinan Umum Pers Mahasiswa Gema Justicia Fakultas Hukum Universitas Andalas

Tidak hanya bidang ekonomi saja bangsa Indonesia pernah mengalami krisis . Dengan sebutan krisis moneter, bangsa kita jadi terpuruk dan  penganguran semakin banyak peminatnya. Tetapi krisis  juga  terjadi di bidang-bidang lainnya. Mengapa dengan bidang lain?Tentu ada kaitannya dengan krisis moneter. Contoh di bidang berbahasa dan sastra. Krisis bidang ekonomi mengakibatkan lesunya pasar untuk melakukan kegiatan  transaksi jual beli. Di bidang sastra juga mengakibatkan berpindahnya rasa kebahasaan orang atau beralihnya melakukan  berbahasa sesuai dengan perkembangan zaman.
Apakah dengan semakinnya berkembangnya zaman akan membuat kita lupa dengan bahasa Ibu sendiri?Tentu berbagai jawaban akan melahirkan sikap pro dan kontra. Bahasa Ibu kita, bahasa Indonesia lahir dari nenek moyang yang diwarisi untuk generasi penerus  sampai saat ini. Tapi, sampai saat sekarang rasa berbahasa Indonesia kita sudah mulai dilindas oleh kepentingan politik bahkan budaya barat selangkah demi selangkah sudah terasa bahasanya di tengah sendi kehidupan masyarakat .

Salahkan masyarakat kita berbahasa asing terutama sekali dengan bahasa internasional seperti bahasa Inggris, Mandarin, Arab, Jerman, Jepang dan lain-lain? Di sisi lain kita dituntut jadi manusia global, bisa mengusai perdagangan internasional. Maka dengan mempelajari dan memakai berbahasa asing, Ibu Pertiwi tidak dianggap ‘’kuper’’ (kurang pergaulan) di mata PBB. Di satu sisi, kita harus wajib (bukan artian paksaan) berbahasa Indonesia sesuai dengan kaedah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Apalagi adanya lahir UU Berbahasa.

UU bahasa dan HAM

UU Berbahasa, latar belakang  lahirnya memiliki tujuan ingin menyelamatkan makna dibalik Sumpah Pemuda  28 Oktober tahun 1928 tersebut . Sumpah Pemuda memiliki sejarah panjang untuk mencapai namanya tujuan bersama sesama anak bangsa satu nasib,satu keinginan meraih kemerdekaan . Berbahasa satu, bahasa Indonesia, , bertanah air satu, Tanah Air Indonesia serta .Pentingnya  mengamalkan isi dari Sumpah Pemuda menjadi landasan agar kelak adanya UU ini menjadi konstitusi yang sah berbahasa Indonesia tanpa paksaan.
Sejak 9 Juli 2009 keberadaan dan penggunaan bahasa Indonesia sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang ”Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan”. Undang-undang ini, yang antara lain berdasarkan niat memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara, menjaga kehormatan dan menunjukkan kedaulatan bangsa dan negara, serta menciptakan ketertiban, kepastian, dan standardisasi penggunaan bahasa.

 Dengan demikian, bahasa Indonesia ”wajib” digunakan dalam pidato resmi para pejabat negara, ”wajib” digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan nasional, ”wajib” digunakan dalam pelayanan administrasi, ”wajib” digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta, dan ”wajib” digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia.

Bahasa Indonesia juga ”wajib” digunakan untuk penunjuk jalan, fasilitas umum dan rambu umum, serta ”wajib” digunakan dalam informasi yang disampaikan melalui media massa. Pemerintah pun ”wajib” mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra Indonesia.

Ibarat kata pepatah, sambil menyelam minum air, maka UU 24 Tahun 2009 lebih mempertegas arti penting kedudukan bendera, bahasa, lagu dan lambang Negara menjadi sebuah pristise, agar kelak jangan sampai ada klaim dari negara tetangga tentang hal tersebut.

Manusia sebagai  makhluk ciptaan Tuhan, telah diberi akal pikiran mengenal segala apa saja di planet bumi. Manusia juga memiliki Hak Azasi Manusia (HAM). Mulai dari lahir sampai ke lubang lahat, HAM terus ada di pundak masing-masing orang. Lantas, hubungan berbahasa dengan HAM sangat erat sekali. HAM akan menjadi senjata ampuh bagi mereka yang jadi korban baik dari seseorang, maupun kelompok untuk membela harga dirinya. HAM dalam berbahasa berarti bersikap bisa menerima bahasa orang  sesuai dengan asal daerahnya atau kampung halamannya.

Maksudnya, agar hubungan kita sesama warga Negara Indonesia dapat terjalin rukun dan damai, maka hargai segala budaya, adat, bahasa dan apa saja menjadi identitas dirinya ketika dalam pergaulan. Apalagi dari Sabang sampai Merauke, banyak sekali ditemui bermacam-macam jenis bahasa daerah. Ada lebih kurang 3.000 bahasa daerah di nusantara . Bahkan ada bahasa daerah yang hampir punah, karena semakin berkurangnya jumlah penduduknya. Bahasa daerah dapat memperkaya khasanah bahasa Indonesia. Jadi, diharapkan para pejabat, kaum intelektual, kaum ekspariat, warga keturunan dan lainnya, mulailah menyadari makna tersirat dalam Sumpah Pemuda.

Penghargaan untuk bahasa daerah

Selama bulan Oktober ini, banyak sekali jenis penghargaan akan diberikan kepada pelaku sastra baik yang spesialis lisan maupun tulisan. Karena pada bulan ke-10 dalam kalender Masehi ini, merupakan bulan bahasa. Arti umumnya bulan lebih focus untuk berbahasa Indonesia dengan baik.Tapi bahasa daerah mau dikemanakan. Lagi-lagi kita hanya sebatas bahasa Indonesia. Namun sayang, perhatian pemerintah terhadap bahasa daerah hanya masih sebatas formalitas belaka. Seharusnya bisa memberikan ruang dan gerak bagi peneliti bahasa daerah lebih intensif melihat perkembangan bahasa daerah dengan bahasa Indonesia.
Penulis, hanya bisa melihat hal dapat jadi referensi dalam memajukan bahasa dan sastra  adalah dengan adanya penghargaan Sastra Rancage. Sejak tahun 1989, telah berbuat untuk memajukan sastra-sastra di daerah. Baik di Jawa, Bali maupun bisa seluruh pelosok Ibu Pertiwi.Tentu lebih menarik lagi, penghargaan tersebut menjadi tolak ukur sejauh mana perkembangan bahasa daerah di tengah ancaman globalisasi. Perlu waktu lebih menyakinkan masyarakat, bahwa bahasa daerah bukan tak bisa gaul dalam bertuturnya.
Islam, agama Indah dalam berbahasa

Kita mungkin lupa,kapan ya kita sudah mulai hafal nama-nama huruf dari A sampai Z atau huruf hijaiyah dari alif sampai ya. Sebagian kita mungkin binggung menjawabnya. Tanpa kita sadari, huruf itu mudah saja diingat bahkan dibaca, diucapkan serta dituliskan . Ali Abi Thalib salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW mengatakan ‘’ ikatlah ilmu itu dengan tulisan’’, maka apa saja pengetahuan kita peroleh secepat mungkin dituliskan kembali . Pesan dari Ali tadi menyuruh umat Islam jangan hanya pintar bicara saja, tetapi juga mampu menulis.

Sungguh, bangsa kita sendiri yang mayoritas beragama Islam,  tak mampu jadi teladan dalam berbahasa yang baik dan benar. Buktinya  sebagian besar kita lebih senang membaca Koran daripada baca kitab suci Alquran. Bukan berarti membaca Koran tak boleh, tapi seimbangkan antara dunia maupun akhirat. Orang yang suka berkata-kata kotor  sebagian besar perbuatan kaum muslimin. Padahal bahasa dan tulisan kitab suci indah sekali bahasanya. Tak ternilai dengan jenis penghargaan apapun juga. Nobel yang jadi ‘’dewa’’ di mata kaum jenius tak bisa jadi tolak ukur dengan Alquran. Seandainya umat Islam mampu membaca, menulis Alquran, maka komunikasi  antarumat beragama jadi mudah memahami dalam Bhineka Tunggal Ika. Peristiwa kekerasan, pertingkaian dan tindakan main hakim sendiri niscaya tak akan pernah terjadi  dengan mengamalkan komunikasi Alquran.

Penulis, bukan menuduh umat muslim malas membaca Alquran, tetapi membandingkan apa yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya saja, kita lebih senang mendengar orang bernanyi di radio daripada mendengar orang membaca Alquran . Dalam  setiap lomba MTQ, dapat kita lihat jumlah pesertanya tak sebanding dengan jumlah panitia lomba. Coba kalau ada lomba nyanyi dan musik, semua orang berduyun-duyun ingin  jadi peserta serta melihat bahkan ikut bersama-sama bernyanyi.

Nah, itu saja kita dapat menilai bahwa kemampuan berbahasa baik lisan maupun tulisan secara umum rakyat Indonesia sudah dikategorikan sudah mulai menurun kuantitasnya. Jumlah penulis kita satu  berbanding empat dengan jumlah pintar bicara. Masyarakat kita cenderung suka bicara (lisan) seperti bernyanyi, berpidato dan lain-lain. Di negeri ini orang lebih mengenal para tokoh yang hebat bicara, sedangkan kelompok penulis, bisa dikatakan masih dipandang sebelah mata. Selamat bulan bahasa, selamat membaca dan menulis.

 

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 

Mentawai Relief

Pusat Informasi Palestina

BBCIndonesia.com